Musim
kemarau yang berkepanjangan...
Aku
kini kembali ke kampung halamanku setelah sekian lama melanjutkan studi di
perantauan. Sepanjang perjalanan aku tak berhenti mengagumi keindahan alam dari
dalam gerbong keteta yang berjalan, persawahan terhampar luas daan terkadang
terlihat hutan-hutan hijau yang menyapa. Teringat saat aku kecil dulu bermain
di pesawahan, orang tuaku adalah petani. Saat itu aku ingat waktu musim angin,
banyak orang membuat kincir angin di pesawahan. Ketika angin datang menderu
kincir itu berputar dengan cepat diiringi suara khasnya yang timbul dari
gesekan dengan angin. Melihat banyak kincir angin yang berputar saat itu aku
tertawa riang, merasa bahagia.
Tak
jarang aku ikut bantu-bantu ibu membawa bekal buat ayah di sawah, dan terkadang
aku membantu ayah membajak sawah meskipun pada akhirnya aku ditertawakan oleh
orang tuaku saat aku kelelahan waktu mencangkul tanah sawah.
Kereta
masih terus melaju, kini yang terlihat dari gerbong kereta hutan-hutan yang
berjejeran, kulihat pohon-pohon jati menggugurkan daun-daunnya. Sementara
pohon-pohon lain masih tetap mempertahankan warna daun daunnya meski ada
sebagian pohon-pohon mati karena tak mampu melawan kondisi kemarau yang
melanda.
Dulu
saat aku masih kecil, ayah dan ibu sering mengajakku ke hutan, pergi mencari
kayu bakar bersama atau ketika musim angin aku bersama teman-temanku berburu
jamur di hutan. Masuk hutan bukan berarti tanpa bahaya, seringkali saat masuk
hutan bertemu dengan hewan-hewan buas dan tak jarang saat pulang ke rumah
selalu dimarahi orang tua.
Keindahan
saat itu di musim-musim awal kehidupan sangat begitu berbekas, di tengah upaya
menjadi dewasa kini rasanya ingin bisa kembali menikmati masa-masa kecil yang
tanpa beban, riang bersama menikmati dunia. Berbeda dengan saat ini, banyak hal
yang telah berubah. Anak-anak zaman dahulu suka sekali bermain di luar rumah,
sekarang nyaris tak terlihat anak-anak bermain di luar rumah saat gadget hadir.
Lama
ku terdiam dan tanpa ku sadari akhirnya kereta sudah sampai di stasiun, akupun
segera beranjak keluar kereta. Ah.. begitu ramainya di stasiun siang ini,
banyak orang berlalu lalang, banyak juga pedagang yang menjajakan dagangannya.
Tiba-tiba dari kejauhan terlihat sosok yang tidak asing bagiku, ku coba untuk
melihatnya namun hilang tak berbekas dari pandanganku. “ah mungkin itu
perasaanku saja..” ucapku pada diri sendiri.
Aku
berjalan keluar dari stasiun dan singgah dulu ke rumah makan yang tak jauh dari
stasiun. Ku berhenti di rumah makan kesukaanku, rumah makan favorit yang selalu
aku singgahi saat perjalanan pulang pergi, tak menunggu lama aku memesan
makanannya hingga terhidang di atas meja, kunikmati makanannya dan kuteguk air
minum yang tersedia hingga lapar dan hausku hilang. Selesai makan dan bayar ke
kasir aku keluar dan kemudian aku naik ke angkutan umum yang menjurus ke
kampung halamanku, di dalam kendaraan umum itu penuh sesak namun ku beruntung
masih dapat tempat duduk. Ku coba lihat ke luar jendela mobil suasana yang ku
lihat di luar mobil telah banyak berubah tak seperti saat aku mulai berkembara
ke tempat lain meninggalkan kampung halamanku. Jendela mobil sedikit tertutup
debu, musim kemarau ini membuat banyak debu berterbangan. Teringat saat aku
berjalan di pematang sawah waktu kemarau panjang, yang terlihat hanya lahan
yang tandus dan debu-debu serta dedaunan kecil yang tertiup angin.
Coba
ku lihat awan banyak berbaris di langit dan matahari masih terus bersinar
terik. Matahari terus menyinari hari, meskipun banyak orang tak menghiraukan
kehadirannya namun tak pernah lelah ataupun mengeluh menyinari dunia. Kadang ku
berpikir saat berbuat baik harus seperti mentari, ada atau tidaknya perhatian
dari orang disaat itulah tak berharap diperhatikan namun senantiasa terus
menyinari orang dengan kebaikan-kebaikan.
Seharusnya
manusia belajar dari mentari, tak pernah mengeluh tuk menyinari bumi. Angin
kering dan gersang berhembus menerpa tubuhku, sedikit memberikan kesejukan
buatku. Ku lihat di luar jendela kendaraan yang aku tumpangi terhampar luas
pesawahan, tandanya semakin dekat dengan kampung halamanku.
“kampung
duku.. kampung duku.. siapa yang turun disini?” teriak kondektur. Mendengar
suara itu aku bergegas turun dari mobil dan tak lupa membayar. Suasana masih
terasa panas meskipun kulihat sekarang awan mendung bagai pertanda hujan kan
turun. Angin berhembus begitu kencangnya dan aku teringat di tempat ini saat
orang tua melepas kepergianku merantau untuk mencari ilmu. Hujan rintik-rintik di saat itu melepaskan
kepergianku dengan mata berkaca-kaca aku menatap mereka terakhir kali di waktu
itu. “hati-hati nak” ujar mereka. “iya..” jawabku.
Kini
aku kembali disini, yang terpikirkan olehku sedang apakah mereka kini? Apakah
mereka sedang menyambutku pulang? Kakiku berjalan menapaki perbukitan, cukup
jauh tempat yang aku tempuh menuju rumahku. Memang kampungku agak jauh dari
jalan raya dan hanya motor yang dapat menempuh jalan menuju kampungku. Kulihat
di sekeliling pohon jati meranggas, daun daun nya berserakan memenuhi jalan
yang aku lalui.
Angin
begitu kerasnya berhembus menerpa tubuhku yang berjalan gontai, kulihat tempat
tinggalku terlihat dari kejauhan, masih sama seperti dulu saat aku meninggalkan
tempat itu. Saat itu aku menatap lama tempat tinggalku dari kejauhan dikala aku
mulai merantau meraih cita dan impian, ada rasa berat saat itu untuk
meninggalkan tempat yang melahirkan banyak kenangan hingga aku tertegun cukup
lama dengan mata berkaca-kaca hanyut dalam lamunan. “heh kenapa kamu melamun?
Ayo buruan nanti ketinggalan mobil” ucap ayah saat itu menyadarkan aku dari
lamuman di waktu itu. Ada sebuah kebanggaan yang menyeruak dalam dadaku,
meskipun jika aku di negeri orangpun suatu saat nanti pastinya tempat tinggalku
sejak aku kecil tetap yang terbaik.
Awan
semakin menghitam dan angin semakin keras berhembus dan jarak semakin dekat
menuju rumahku, aku percepat langkahku saat rintik-rintik hujan mulai membasahi
bumi yang telah sekian lama kering. Kulihat pohon-pohon jati yang tadi aku
lewati mulai terbasahi oleh air hujan dan tanah-tanahpun mulai terkucuri rintik-rintik
air yang jatuh. Aku suka dengan hujan, terutama saat hujan rintik-rintik
seperti ini, iramanya terdengar syahdu sehingga mengingatkanku pada setiap
kenangan aku selama ini.
Ku
tengadahkan tanganku dan ku rasakan dengan lembut rintik-rintik hujan membasahi
telapak tanganku, dari kejauhan terlihat tanaman-tanaman kebun berayun-ayun
tertiup angin seakan gembira menantikan hujan yang turun setelah sekian lama
langit tak mengeluarkan air hujannya. Butir-butir air hujan pun tak luput
membasahi wajahku, rintik-rintik hujan itu semakin besar dan aku semakin
mempercepat langkahku, awan semakin tak kuat lagi menopang air yang dibawanya
dan akhirnya hujan turun dengan derasnya menyelimuti bumi. Aku berlari dengan
kencang, beruntung saat hujan deras turun sudah sangat dekat dengan rumahku.
“alhamdulillah..”ucapku
saat aku telah sampai rumah. Suasananya begitu sepi, dalam hati bertanya
kemanakah mereka? Apakah ada di rumah?
“assalamualaikum...”
Masih
hening, namun beberapa waktu kemudian ada yang menjawab “waalaikum salam..”
suara itu masih ku ingat, terlihat dengan jelas dia yang membuka pintu rumahku,
adikku yang bungsu puji widiatsuti namanya dan Kini adik bungsuku sudah kelas 5
SD. “kakak...” teriaknya sambil memelukku erat. Dari kejauhan terlihat ayah dan
ibu menghampiri dan aku pun berjabat tangan dan merangkul mereka. Adik
pertamaku, Kara lestari menyambut diriku dan berjabat tangan denganku sambil
membisiki “kak.. kakak itu udah pulang loh..”. “ serius? “ tanggapku dengan
rasa tak percaya.
“Lho
bajumu terlihat agak basah gini, kehujanan?” tanya ibu sambil memegang baju
aku. “iya bu.. tadi pas udah beberapa meter lagi nyampe rumah, hujan udah mulai
turun deras bu”. “kara, cepat ambil handuk buat kakakmu” perintah ibu kepada
kara. “iya bu..” jawab kara. Tak lama kemudian kara kembali membawa handuk
kecil buatku, dan ku ambil handuk kecil untuk mengusap butiran-butiran air
hujan yang menempel di wajahku. “ka.. maafin kara tak bisa hadir di acara
wisuda kakak beberapa waktu lalu, tapi walau aku tak datang ke acara wisuda
kakak aku punya kejutan buat kakak, tuh lihat di lemari” ucap kara sambil
menunjuk lemari besar yang berisi piala, samar terlihat di piala tertulis juara
satu lomba karya tulis. “hebat sekali kamu kara, nanti kakak traktir kamu deh
hehe..” tanggapku sambil menatap bangga padanya. Waktu wisuda kemarin memang
kara tak ikut ayah, ibu dan puji melihat prosesi wisudaku karena waktu lomba
yang bentrok dengan hari wisudaku, melihatnya menjadi juara bagiku tidak
masalah kara tak hadir, malah aku bangga dengan prestasinya. “tuh kak aku
sandingkan dengan penghargaan kakak” tambahnya lagi. Disamping piala yang
diperoleh kara ada cinderamata penghargaan mahasiswa terbaik yang bertuliskan
nama lengkap dengan gelarku, Joko Wibowo.S.E.
Masih
teringat suasana waktu itu saat pemberian penghargaan, semua bertepuk tangan
dan kulihat wajah orang tua dari kejauhan tersenyum kepadaku dan pada saat
setelah selesai wisuda ayah memelukku erat dan berkata “ayah bangga nak..”
ujarnya sambil berkaca-kaca dan kulihat ibu menangis bahagia atas
keberhasilanku. Sesaat sebelum ayah, ibu dan adikku pulang aku dan mereka
berfoto bersama, ya foto itu kini terpajang di dinding rumahku. Aku hanya bisa
tersenyum mengingat suasana bahagia di waktu itu. Aku tak langsung pulang ke
rumah karena saat itu aku masih fokus pada bisnisku dan mitra kerjaku, selama
aku kuliah aku sudah punya bisnis sendiri.
“bu..
katanya retno udah pulang ya?” tanyaku pada ibu. “iya.. barusan sebelum hujan
mampir sebentar kesini ngobrol sama ibu..” jawab ibu. “benarkah bu? Pantesan
tadi saya merasa melihatnya di stasiun kereta..” tanggapku dengan rasa
penasaran. “kamu melihatnya?” kini ibu yang berbalik penasaran. Aku mengangguk
sembari menjawab “iya bu, tadi ngobrol apa aja ke ibu?” aku berbalik kembali
bertanya ke ibu. “tadi ngobrol nanya kabar keluarga di sini sama nanya keadaan
kamu juga” ucap ibu. “dia udah lulus juga loh di kuliah farmasinya” tambahnya
lagi.
Retno
Dwi Putri, begitulah nama lengkap dia, aku mengenal dekat dia waktu sma. Dia
orangnya begitu baik, solehah, taat beragama dan juga pintar, tak heran aku
dengan dia sering bersaing merebut peringkat pertama sejak kelas satu sampai
masa kelulusan tiba. Pernah aku belajar kelompok dengannya, bahkan berkat kerja
kelompok itulah dia bisa mengenal keluargaku, karena tak jarang rumahku jadi
tempat belajar kelompok dengan teman-temanku.
“katanya
dia jadi mahasiswa terbaik juga lho seperti kamu” kata ibu. “benarkah?” aku
seakan tak percaya apa yang di sampaikan oleh ibu. “ iya.. tadi dia bilang juga
sama ibu” jawab ibu. Aku hanya mengangguk-ngangguk. Selama aku masih kuliah
memang kalau waktu libur tak jarang retno berkunjung ke rumahku menyapa ayah
dan ibuku, sepertinya ia merasa nyaman saat berkunjung ke rumahku. Dia seperti
begitu dekat dengan keluargaku, namun aku tak begiti dekat dengan keluarganya
meskipun pernah belajar kelompok di rumahnya retno.
“kak
aku curiga kalo kak Retno suka banget dengan kakak..” canda puji kepadaku. “ah
masa.. biasa aja” tanggapku sambil senyum lebar. “sepertinya dia cocok sama
kamu nak.” Kata ayah yang ikut bercanda kepadaku. Ya.. memang ku akui aku
menyukai dirinya sejak lama dan mungkin sudah saatnya ku ingin mengutarakan
sesuatu...
“
yah.. bu.. aku ingin menjadikan retno sebagai istriku apakah bapak ibu
menyetujuinya?” ku beranikan diri mengutarakan sesuatu keinginan tersembunyi
selama ini. Ayah dan ibu serta adik-adikku hanya bengong dengan perkataanku.
Sesaat kemudian ayah berkata kepadaku “ kamu yakin?” dan aku pun mengangguk
tanda mengekspresikan keyakinanku yang seakan tak bisa dikeluarkan dengan
kata-kata.
Sesaat
kemudian ayah dan ibu berbasa-basi kepadaku dan
mereka juga menyetujui karena aku sudah cukup untuk memulai sebuah
kehidupan baru. Melihat aku dimata mereka telah terlihat dewasa karena aku
telah mempunyai pekerjaan sendiri. Lalu aku dan orang tuaku mendadak membuat
perencanaan untuk melamar Retno saat itu juga. Dua adikku hanya mendengarkan
apa yang aku bicarakan dengan ayah dan ibu.
Pagi
itu.. embun masih membasahi bumi, aku dan sekeluarga berangkat ke rumah retno
dan orang tuanya untuk melamar. Sebelumnya aku memberanikan diri sendiri
berkunjung ke rumah orang tua retno, orang tuanya menyambutku dengan ramah dan
setelah sekian lama orang tua retno bercakap-cakap denganku mereka
menyetujuinya. Mereka menyambut dengan penuh rasa hangat, Cuma retno saja yang
paling terkejut dengan kedatanganku untuk melamarnya.
Musim
penghujan telah tiba, rumput-rumput kini menghijau kembali hanya saja
pohon-pohon jato masih belum memperlihatkan daunnya kembali. Malam berganti
siang dan siang berganti malam, kemarau berganti hujan. Debu-debu kemarau kini
entah pergi kemana, hanya suara rintik-rintik hujan yang hampir setiap hari
menemami hari. Rumahku yang sepi kini ramai dengan orang-orang, begitu juga di
rumahnya retno lebih ramai lagi.
Dan
rasa bahagia itu mengemuka sesaat setelah akad pernikahan itu terucap, pertanda
aku berada di musim berbeda. Dulu aku belum memiliki sesuatu yang harus aku
jaga dan kini aku telah memiliki sesuatu yang harus ku jaga. Sudah takdir
manusia tak bisa hidup sendiri, karena manusia butuh yang lainnya seperti
mencinta dan dicintai, memiliki dan dimiliki dan hal-hal lainya bagaikan
simbiosis mutualisme. Dari manusia lah lahir generasi-generasi hebat dan terus
beregenerasi sampai di titik batas tertentu.
Pesta
dan kemeriahan telah usai.. dan aku harus berangkat lagi meninggalkan rumah
untuk membangun cita dan harapan bersama istri tercinta, seperti saat itu orang
tuaku melepas kepergianku hanya saja kini berbeda karena ada istriku tercinta
dan orang tua retno juga ikut melepas kepergianku, nampak dari kejauhan pohon
jati mulai menumbuhkan daunnya kembali bagaikan membuat sebuah kehidupan baru..
Dua
musim.. dua sisi yang berbeda serba tidak pasti, namun setiap musim akan selalu
meninggalkan jejak untuk dikenang. Apa yang dilalui saat ini mungkin saja
membosankan, tapi mungkin di masa depan akan sangat dirindukan. Sebagaimana
malam merindu siang dan siang merindu malam. Bukan buaian mimpi dalam setiap
tidur malam yang buat bahagia, tapi perjalanan hidup mengarungi setiap musimlah
yang membuat bahagia saat mampu menikmatinya.
------------
Aku
kembali ke kehidupanku jauh dari rumah, namun disini aku telah membangun rumah
baru dengannya beratap kehidupan mengarungi musim suka dan duka.
Deburan
ombak pantai parang tritis menemaniku berdua dengan retno, dari kejauhan
terlihat pemandangan matahari yang segera terbenam. Tiba-tiba retno berkata
“
Tau gak? Aku sejak pertama bertemu denganmu aku suka sekali denganmu, Cuma saat
itu aku pendam saja darimu...”
Aku
terbengong sejenak dan kemudian aku lemparkan senyum ke wajahnya, wajah yang
kini menemaniku untuk mengarungi musim-musim selanjutnya..
2016-2017
No comments:
Post a Comment